Dari
Jakarta, aku dan suami berangkat menuju Semarang. Senin tanggal 29 Februari
2016 aku konsul dengan dr. Subianto, S.Pb. Onk di RS. Telogorejo Semarang.
Beliau salah satu dokter onkologi senior di Jawa Tengah dan juga sebagai
pengajar di Fakultas Kedokteran UNDIP Semarang. Bahkan dr. Deni Joko, S.Pb. Onk
di Dharmais ternyata salah satu murid beliau.
Aku
ceritakan tentang benjolan di payudara, vonis dari dokter onkologi di
Pekanbaru, hasil konsul di Dharmais dan alasan kenapa bisa jauh-jauh sampai ke
Semarang. Tanggapan dari beliau sangat luar biasa, “Bu, Njenengan masih muda
banget, siap kan untuk operasi? Saya janji akan usahakan yang terbaik untuk
kesembuhan njenengan, Saya ini Cuma orang yang diberi nikmat oleh Allah ilmu
& tenaga, tetapi yang menentukan segalanya tetap Allah ya Bu. InsyaAllah kalau
njenengan siap, hari rabu tanggal 2 Maret 2016 kita lakukan operasi’. Aku ngga
bisa menahan tangis saat itu. Aku pegang tangan suami, minta kekuatan. Suamiku meyakinkan
aku untuk siap.
Dr.
Subianto yang duduk didepan kami langsung pegang pundak suamiku sambil ngomong
gini: “Pak, sampeyan cinta toh sama istri?” “Saya sangat cinta sama istri Saya
dok” jawab suamiku mantap. “Bapak tau apa perasaan seorang perempuan saat akan
kehilangan payudaranya? Itu sama saja rasanya seperti kehilangan suami Pak”. Aku
makin nangis sesegukan. “Ini demi kesehatan Ibu, demi anak-anak yang menunggu
ayah bundanya pulang. Cinta njenengan sama istri dari hati toh? Ngga akan
berkurang karena payudaranya diangkat toh Pak?” luar biasa kata-kata dari dr.
Subianto. Untuk pasien kanker, kesembuhan itu ngga hanya didapat dari tindakan
& obat-obatan, tapi senyum dan support dari dokter yang merawat adalah
suplemen yang menguatkan dan membesarkan hati. Rasanya aku makin siap untuk
operasi.
Selasa
tanggal 1 Maret aku mulai rawat inap. RS Telogorejo tergolong RS Swasta terbaik
di Jawa Tengah, untuk nunggu kamar rawat inap kelas I, II dan III kosong minta
ampun susahnya,, penuh terus.. Akhirnya kita dapat kamar VIP B, aku sih
pengennya di rawat di kelas II aja, ya pertimbangan biaya juga sih karena kita
operasi ngga pake bantuan BPJS alias bayar pribadi. Tapi suamiku ngga mikirin
itu, yang dipikirkannya gimana caranya aku segera operasi dan sembuh. Uang mah
bisa dicari lagi. Yang penting sehaatt..
Persiapan
operasi dimulai, rontgen torax, EKG, tes darah lengkap, konsul dengan dokter
penyakit dalam, konsul dengan dokter anastesi, puasa 6 jam sebelum operasi. Deh-degan
banget rasanya, ini adalah operasi pertamaku. Selama ini aku dirawat di RS ya Cuma
pas lahiran aja. Selama ini ngga pernah ngerasain sakit berat, paling Cuma demam,
batuk, pilek, diare doang.
Jam
19.00 suster masuk ke kamar, “Bu Novia, sudah ada panggilan dari ruang OK, jam
20.00 operasinya dimulai, silakan Ibu ke kamar mandi dulu, sholat dan lakukan
persiapan lain ya bu. Ini baju dan penutup kepalanya, kalau sudah siap, kita
pasang infus ya Bu.” Jam 19.30 aku didorong ke ruang OK. Bismillah, semoga
operasinya lancar.. Didepan pintu ruang OK, suamiku kembali menguatkan. “Bunda,
Ayah sayang Bunda. Bunda harus kuat ya, harus sehat dan harus siap dengan
segala kemungkinan terburuk. Apapun yang terjadi, Ayah ngga akan pernah
ninggalin Bunda. I Love U”.
Masuk
ke ruang OK no 10, disana udah ada beberapa suster, aku pindah dari bed ke meja
operasi. Dokter anastesi sudah menunggu. “Malam Ibu, sebentar lagi kita lakukan
anatesi ya, bisa sebutkan nama & tanggal lahirnya?” aku masih sadar dan
menjawab dengan tepat. “Ibu asalnya dari mana?” aku jawab: “Saya dari Pekanbaru
dok, Riau”. Setelah obrolan singkat itu, aku ngga sadar lagi dan operasi
dimulai.
Suamiku
duduk sendirian diruang tunggu. Kamu luar biasa sayang, dalam keadaan seperti
ini ngga ada siapa pun yang menemani, ngga ada yang bisa diajak berbagi. 20
menit setelah aku masuk ruang operasi dokter keluar untuk menemui suamiku. Ini obrolan
yang diceritain suamiku: “Pak, ini tumornya Ibu sudah diangkat. Sudah ditest
sama dokter patologi, hasilnya ganas”. Suamiku istigfar, lututnya lemas. “trus
bagaimana baiknya dok? Tolong selamatkan dan sembuhkan istri Saya” dr. Subianto
menjawab: “tindakan terbaik harus mastektomi Pak, Saya akan mengangkat beberapa
kelenjar getah bening terdekat untuk memastikan sel kanker tidak menjalar ke
getah bening, semua jaringan payudara kanan Ibu akan diangkat untuk memastikan
semua sel tumor diangkat bersih dari tubuh Ibu. Bagaimana, Bapak setuju?” Suami
sempat berkaca-kaca matanya waktu ceritain ini. Mungkin sangat berat mengambil
keputusan ini, pertimbangannya antara kesehatan dan dampak psikologis aku waktu
sadar payudara kananku udah ngga ada. “Bismillah, lakukan yang terbaik dok,
Saya mau istri Saya sembuh”. Dr. Subianto menepuk pundak suamiku sambil
menguatkan. “InsyaAllah Pak, kita sama-sama ikhtiar”.
Ini foto tumor yang sempat diambil suami:
“Bu
Novia, ayo bangun. Sudah selesai Bu, kita akan pindah ke kamar”. Suster menyadarkan
aku, operasi sudah selesai. “Sus, ini jam berapa? Saya haus dan lapar..” “jam
00.10 Bu, nanti diruangan Ibu boleh makan, teh hangat dan makanan sudah disiapkan”.
Pandangan
aku tujukan ke dada kanan. Ya Allah, payudara kanan ku sudah tidak ada. Sekarang
aku Cuma punya 1 payudara. Tumor di payudara kananku ganas. Astagfirullah..
Diluar
ruang OK suamiku sudah menunggu dan tersenyum, “Bunda sayang, alhamdulillah
operasinya lancar, sekarang tinggal recovery, bunda harus semangat ya..” Aku
masih nangis, campur aduk rasanya, sedih, merasa diri ngga sempurna, malu dihadapan
suami, takut.. Tapi suamiku tetap senyum sambil megangin tanganku, “Ayah sayang
bunda, sehat terus ya sayang”.
Aahhh
suamiku, aku ngga berhenti bersyukur Allah mengirimkan kamu untuk jadi
pendampingku. Dari 5 Tahun usia pernikahan, ini adalah ujian terberat kita,
semoga kita tetap bisa melalui ujian-ujian lainnya bersama. I Love U..
Ini foto 8 jam pasca operasi, udah bisa senyum..:-)
Biar ngga bete, suami ngajakin jalan di roof garden. Lop Yu Pull Darl..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar