Tanggal
22 Februari 2016 adalah salah satu tanggal bersejarah dalam hidupku, ya hari
ini aku divonis menjadi “Pasien Kanker Payudara”. Sepulang dari Rumah Sakit,
aku jemput Syifa dari sekolahnya, air mataku masih tidak bisa terbendung,
tangisku pecah sejadi-jadinya, aku ngga bisa turun untuk menjemput Syifa di
sekolahnya, Adekku Luthfi yang turun dan menjemput Syifa.
Syifa
masuk mobil, lalu menyapaku “Bundaaa... Kakak udah pulang sekolah Bun”
Kuhapus
air mata, aku ngga mau Syifa bertanya. Aku coba tersenyum sambil ngobrol
tentang kegiatannya disekolah hari ini. “Bun, kita main dulu yuk, liat pesawat
bun” anakku yang belum tau apa-apa minta ditemani main diarea bandara yang ada
monumen pesawatnya. Aahhhh... baiklah, mungkin ini dapat sedikit menghiburku
dan sejenak melupakan vonis dari dokter tadi.
Suamiku
telfon, tapi aku ngga bisa jawab, aku ngga bisa bercerita di telfon tentang
vonis dari dokter tadi, Luthfi yang jawab telfonnya. Eksposnya sudah selesai,
dan kami akan bertemu dirumah.
Dirumah,
suamiku menyambutku dengan senyum, tapi aku ngga bisa sembunyikan tangisku. Tangisku
pecah dalam pelukannya. Suamiku berusaha menenangkan, aku mulai bercerita apa
yang tadi disampaikan dokter. Walau wajahnya terlihat tenang, tapi aku tahu dia
juga mengkhawatirkanku. Aku tahu, dalam pikirannya pun berkecamuk macam tanya,
takut, khawatir, sedih..
“Besok
istirahat aja dirumah bun, ngga usah masuk kerja dulu, main aja sama Haikal,
besok pagi ayah ke kantor bunda untuk sampaikan surat izin. Hari selasa kita
berangkat ke Jakarta, kita ke Dharmais untuk dapat second opinion dan
penanganan lebih baik”. Suamiku benar-benar mengkhawatirkan keadaanku, aahh
beruntungnya aku dapat suami sebaik dia.
24
Februari 2016, aku dan suami berangkat ke Jakarta. Anak-anak aku titipkan
kepada orangtuaku. Sebelum berangkat ke bandara, aku sempatkan mengantar Syifa
ke Sekolah, aku pamit akan berangkat ke Jakarta untuk berobat, anak umur 3,5
tahun belum ngerti Jakarta itu dimana, belum mengerti kalau bundanya divonis
penyakit yang mematikan. Ya, dia tersenyum sambil jalan masuk ke halaman
sekolahnya. Akunya yang ngga kuat pisah, terbayang macam-macam, terbayang aku
ngga akan bisa ketemu lagi dengan anak-anakku, terbayang aku ngga akan bisa
pulang kembali lagi ke Pekanbaru, terbayang anak-anakku yang masih balita akan
kehilangan bundanya..
Aku
dan suami sampai di Jakarta, kami menginap di Hotel yang ngga jauh dari
Dharmais, tinggal jalan kaki 5 menit udah sampai di Dharmais.
Kamis
tanggal 25 Februari aku datang ke Poli Cendana Dharmais, atas saran dari
petugas pendaftaran, aku memilih untuk konsul dengan dr. Deni Joko, Sp.B Onk.
Disini
mentalku menjadi kuat, banyak pasien kanker yang aku temui, mulai dari yang
berumur 60 sampai anak-anak balita. Dari yang kuat, senyam-senyum sambil
semangat menceritakan perjalanan kankernya, sampai yang kurus tinggal kulit
pembalut tulang. 70% orang yang berada diruang tunggu poli perempuan dengan
berbagai macam cerita kankernya. Ada yang kanker tiroid, getah bening, dan yang
paling banyak ya kanker payudara. Ada yang survive selama 15 tahun, ada juga
yang kankernya sudah metastase kemana-mana, tapi,,, mereka tetap semangat,
tetap ceria.
Dr,
Deni periksa keadaan payudaraku, aku bercerita bla bla bla mulai dari awal aku
menemukan benjolan di payudara kananku. Penjelasan dari dr. Deni sangat
menenangkan, penjelasan tentang proses operasi yang akan dijalani, kemungkinan
terburuk, sampai tindakan terapi pasca operasi dijelaskan dengan tenang, Alhamdulillah,,
stressku jadi berkurang. Kalo untuk pengobatan penyakit kelas berat seperti
kanker, kita mesti cari dokter yang ramah, ngga bikin stress. Yang bikin stress
itu Cuma efek samping obat penghenti asi yang diresepkan dr. Deni. Aahhh,,,
badan ngga karuan rasanya, mual, muntah, pusing, hampir pingsan. Beruntung punya
suami yang badannya gede, jadi waktu aku mau pingsan aku dipeluk dan dipapah ke
hotel.
Waiting
list operasi 2 bulan, emang pasien kanker yang berobat di Dharmais banyyaaakkk
sekali, aku ngga sabar kalo harus menunggu 2 bulan, dalam waktu 6 bulan aja
tumornya udh gede banget, gimana kalo ditambah 2 bulan. Apalagi udh dibiopsi,
si tumornya bisa aja makin ngamuk.
Aku
telfon mertua yang ada di Tegal, minta pertimbangan dan saran kalau ada RS dan
dokter onkologi di Semarang yang recomended untuk operasi. Oia, mertua sendiri
lagi siap-siap untuk berangkat umroh, jadi selama di Semarang nanti, ngga ada
yang akan menemani kami. Aku pengen secepatnya operasi, pengen penyakitku
segera diangkat, pengen cepat sembuh..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar